(A) Dalam usaha pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), muncul suatu lembaga peminjaman yang mudah, cepat, tepat, dan aman bagi UMKM yang mengandalkan kecanggihan teknologi informasi, yaitu Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) atau dapat disebut Peer to Peer Lending (P2PL). Pesatnya perkembangan P2PL ini, menimbulkan urgensi bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membuat peraturan mengenai LPMUBTI tersebut. Pada akhir tahun 2016 lalu, OJK menerbitkan aturan mengenai P2PL yang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI). Namun, karena sifatnya yang masih baru, praktik dan pengaturan P2PL sendiri dinilai masih terdapat banyak kelemahan dan masih kurang memperhatikan perlindungan bagi Pengguna jasa LPMUBTI. Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis merumuskan dua permasalahan yaitu, apakah Pasal 18 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang LPMUBTI telah memberikan perlindungan hukum bagi Pengguna serta bagaimana Penyelenggara dan Pengguna dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan LPMUBTI dengan tidak diaturnya cara penyelesaian masalah antar para pihak di dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menelusuri peraturan, data dan bahan hukum terkait penulisan ini. Kesimpulan dari penulisan hukum ini adalah Pasal 18 POJK Tentang LPMUBTI masih dinilai kurang memberi perlindungan hukum, serta mekanisme penyelesaian sengketanya dapat melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan yang didirikan oleh OJK sendiri. Adapun saran dari penelitian ini adalah mengatur hal-hal dasar seperti Perjanjian antara Penyelenggara dengan Penerima Pinjaman disertai standarisasi perjanjian antar para pihak dan mengoptimalkan peran LAPS dalam penyelesaian sengketa antar para pihak. |