Krisis moneter yang melanda Asia khususnya Indonesia pada abad 21, membawa pengaruh yang sangat besar. Terutama pada bidang pekerjaan, memaksa perusahaan-perusahaan untuk menutup usaha, sehingga terjadi lonjakan pengangguran di Indonesia. Selain itu keadaan diperparah dengan sulitnya mencari pekerjaan baru. Pekerjaan sebagai jaminan mendapatkan penghasilan merupakan hal yang sangat mendesak didapatkan. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk mencari alternatif pemecahan masalah financial, antara lain dengan melakukan wiraswasta (Hakim, 1998). Salah satu cara berwiraswata adalah dengan menjadi pelaku bisnis Multi Level Marketing (MLM). MLM merujuk kepada sebuah sistem bisnis dimana pemasaran produk atau jasa dilakukan oleh individu yang independen (artinya tidak terikat kontrak kerja dengan perusahaan pengelola bisnisnya). Sejak krisis ekonomi, pertumbuhan perusahaan MLM di Indonesia berkembang sangat pesat. Data yang ada sampai tahun 2003 terdapat 47 buah perusahaan. Banyak orang tertarik pada bisnis MLM karena beragam alasan. Individu akan mempunyai alasan yang berbeda-beda, walaupun ada kemungkinan memiliki tujuan sama yaitu meraih keberhasilan finansial. Titik berat bisnis ini adalah ¿modal¿ tak berwujud, misalnya waktu, pengetahuan, sikap mental, motivasi, tekad, dan berbagai keterampilan dan keahlian komunikasi antar pribadi. Modal investasi tak berwujud itulah yang nampaknya memainkan peranan lebih besar dibandingkan dengan modal finansial. Bisnis ini memakai sistem Networking (jaringan), dimana selain ia menjual produk ia harus mengembangkan hubungan yang baik dalam membina jaringannya,maka seorang pelaku MLM yang dapat menguasai dirinya dan orang lain dalam berinteraksi adalah kunci dalam menjalankan bisnis ini. Jika dahulu IQ dianggap penentu keberhasilan, kini seseorang yang memiliki IQ tinggi, belum tentu berhasil dalam pekerjaannya. Hal ini didukung oleh penelitian Carnage (1963) menyebutkan kemampuan non-kognitif maupun kemampuan teknis berperan hanya sekitar 15% dalam menentukan keberhasilan finansial seseorang. Sehingga disimpulkan ada faktor non-kognitif yang berperan lebih besar daripada IQ maupun mengetahuan teknis, hal tersebut diduga berasal dari emosi individu itu sendiri. Faktor emosi ini diduga berperan penting dalam kompetensi kerja, diungkapkan oleh Goleman (1995) sebagai Emotional Intelligence. Goleman (1995) menyatakan bahwa Emotional Intelligence (EI) menyangkut sejumlah kemampuan non-kognitif dan kompetensi yang memepengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Dengan berkembangnya bisnis MLM di Indonesia tentunya diperlukan suatu kunci ataupun faktor-faktor penentu dalam menuju keberhasilan kerja. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa faktor kunci dalam pencapaian tingkat keberhasilan (keberhasilan finansial) seorang distributor MLM adalah Emotional Intelligence (EI) karena bisnis ini ,menitikberatkan pada pendekatan personal antar manusia, yang didalamnya diperlukan kompetensi khusus. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang tergolong penelitian non-eksperimental. Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, karena sampel harus memenuhi beberapa kriteria. Metode pengumpulan data menggunakan instrumen kuisioner sebagai alat ukur EI dan keberhasilan finansial (berdasarkan total pendapatan dalam rupiah). Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan tehnik statistik Pearson¿s Product Moment, untuk melihat korelasi antara EI dengan keberhasilan finansial. Sampel yang dipakai sejumlah 50 orang dari perusahaan T Group. Hasil yang diperoleh adalha adanya hubungan yang signifikan antara Emotional Intelligence dengan keberhasilan finansial pada pelaku bisnis MLM di perusahaan T Group. Penyebaran skor menunjukkan bahwa umumnya skor EI sampel penelitian tergolong tinggi, namun masih ada beberapa sampel yang tergolong rendah. EI akan terus berkembang dan terasah lewat pengalaman, maka dengan adanya penelitian ini dih |