Parenting (mengasuh anak) bisa jadi merupakan peran sosial yang paling membebankan yang dihadapi pada masa dewasa muda dan menengah, yang menempatkan tuntutan intelektual, emosional, dan fisik tertentu pada para ibu dan ayah masa kini. Tidak ada peran lain yang memiliki kebutuhan akan waktu dan energi yang tak menentu ( dalam Coleman & Karraker, 1997). Parenting dapat merupakan perwujudan dari teori yang dikemukakan oleh Erik Erikson mengenai perkembangan psikososial yang meliputi delapan tahap, dimana salah satu dari tahap tersebut adalah tahap dewasa madya (antara usia 30 hingga 65 tahun) yang mengalami krisis psikososial yaitu generativity vs stagnation. Dalam tahap ini individu dewasa memiliki kebutuhan untuk menciptakan sesuatu, baik itu anak-anak, ide, produk, yang mengarah pada generativity (keinginan untuk membangkitkan atau menghasilkan), dan jika kebutuhan ini tidak terlaksana, akan menimbulkan stagnation (kemandekan). Tentunya setiap orang tua mengharapkan anak yang normal. Namun apa yang diharapkan seringkali tidak diperoleh jika anak yang dilahirkan ternyata memiliki kekurangan yang membuatnya exceptional, dimana anak akan mengalami kesulitan yang lebih besar dalam beradaptasi dengan lingkungan. Salah satu dari kekurangan tersebut adalah keterbelakangan mental, yang juga disebut dengan tuna grahita . Anak tuna grahita atau anak yang mengalami keterbelakangan mental memiliki tiga kriteria, yaitu memiliki IQ di bawah 70 memiliki keterbatasan dalam dua atau lebih area kemampuan adaptasinya, dan kondisi ini telah ada sejak masa kanak-kanak yaitu sebelum anak berusia 18 tahun (AAMR, 1992, dalam http://www.smiling-with-hope.org/retardation.htm). Orang tua terkadang mudah merasa malu dan sangat sensitif pada pikiran orang lain ketika perilaku anak mereka yang terbelakang diamati masyarakat. Namun orang tua harus menyadari bahwa ada |