Anda belum login :: 23 Apr 2025 08:08 WIB
Detail
BukuGender Marking in Language: Sexism in English
Bibliografi
Author: Kindarsih, K. Endriati ; Moeliono, Anton M. (Advisor)
Topik: LINGUISTIC; LANGUAGE AND GENDER; LANGUAGE AND GENDER; SEXISM
Bahasa: (EN )    
Penerbit: Applied English Linguistics Program Graduate School Atma Jaya Catholic University of Indonesia     Tempat Terbit: Jakarta    Tahun Terbit: 1995    
Jenis: Theses - Master Thesis
Fulltext: K. Endriati Kindarsih's Master Theses.pdf (3.55MB; 47 download)
Ketersediaan
  • Perpustakaan PKBB
    • Nomor Panggil: T 1
    • Non-tandon: tidak ada
    • Tandon: 1
 Lihat Detail Induk
Abstract
Studi pustaka tentang Gender-Marking in Language: Sexism in English dimaksudkan untuk mencari hubungan antara realita sosial mengenai perbedaan gender dan bahasa yang seksis, khususnya bahasa Inggris. Penandaan gender dalam bahasa erat kaitannya dengan perbedaan jenis kelamin dan perbedaan peran sosial antara pria dan wanita. Kedua perbedaan itu tercermin dalam bahasa-bahasa pada umumnya, dan bahasa Inggris pada khususnya. Dalam realita kehidupan, pria dan wanita adalah dua makhluk ciptaan Tuhan yang tidak saja berbeda secara biologis tetapi juga berbeda peran sosialnya. Misalnya, pria berfungsi sebagai kepala keluarga yang mempunyai tanggung jawab sebagai pencari nafkah sedangkan wanita berfungsi sebagai ibu rumah tangga yang bertanggung jawab mengurus rumah tangga dan mengasuh anak-anak.
Bahasa, sebagai cerminan dari nilai-nilai sosial-budaya masyarakat, mencerminkan kenyataan yang ada dalam masyarakat tersebut. Realita menunjukkan bahwa sedikit atau banyak, bentuk patriarki terwujud dalam masyarakat dan dalam keluarga. Pria dianggap mempunyai nilai lebih dalam masyarakat, karena itu jabatan-jabatan penting pada umumnya dipegang oleh pria. Dalam keluarga, fungsi pria sebagai kepala keluarga membuatnya lebih dominan daripada wanita. Oleh sebab itu wajarlah bila bahasa, sebagai cerminan realita sosial, juga membedakan pria dan wanita dalam klasifikasi semantisnya.
Dalam penggunaan bahasa, penandaan gender nampak pada tingkah laku linguistik (linguistic behavior) dan forma linguistik (linguistic form) yang digunakan oleh pria dan wanita. Yang dimaksud dengan tingkah laku linguistik adalah tingkah laku atau cara berbahasa pada pria dan wanita, misalnya umumnya wanita berbicara lebih halus dan sopan dari pada pria. Sedangkan yang dimaksud dengan forma linguistik adalah bentuk-bentuk linguistik yang digunakan oleh pria dan wanita dalam berkomunikasi.
Dalam bahasa Inggris, penanda gender dapat dilihat di bidang morfologi dan kosa kata. Misalnya, elemen-elemen penanda gender -ess, -ette pada kata-kata sculptress, majorette menunjukkan bahwa kata-kata itu khusus diciptakan untuk wanita dengan cara menambahkan penanda gender feminin. Kata-kata yang netral, yang secara teoritis dapat digunakan untuk merujuk baik pria maupun wanita seringkali hanya merujuk pada pria setelah kata-kata itu dimasukkan dalam konteks kalimat. Karena itu, seringkali penanda gender female, woman, atau lady ditambahkan di depan kata-kata tersebut bila kita hendak merujuk pada wanita. Kecenderungan ini diinterpretasikan bahwa wanita ditempatkan di bawah dominasi pria, bahkan dianggap invisible tak nampak dalam bahasa.
Karena kenyataan tersebut, para feminis Barat (khususnya yang radikal) berpendapat bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang seksis, yang tidak menyetarakan kedudukan antara pria dan wanita. Dengan mendasarkan argumentasi mereka pada relativitas bahasa (Sapir-Whorf hypothesis), yang mengatakan bahwa bahasa seseorang menentukan pandangan dunianya melalui kategori gramatikal dan klasifikasi semantis yang ada dalam bahasa itu, mereka bersikeras bahwa bahasa Inggris yang seksis itu harus diganti supaya masyarakat yang seksis dapat berubah menjadi non-seksis. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menetralkan kata-kata atau istilah-istilah yang mereka anggap seksis, namun usaha mereka nampaknya belum menunjukkan hasil yang mereka inginkan.
Beberapa masalah muncul dalam upaya menetralkan bahasa Inggris yang seksis ini. Beberapa kritikus berpendapat bahwa penetralan bahasa telah merusak makna asli dari kata-kata. Selain itu, ada kecenderungan untuk menggunakan ref erens maskulin pada kata-kata yang netral. Masalah lainnya adalah adanya konsepsi makna yang berdasarkan stereotip gender, karena semua budaya membedakan peran sosial antara pria dan wanita. Penetralan bahasa juga mengalami hambatan karena tidak semua man-linked words dapat diganti menjadi bentuk netral. Misalnya personhood, freshperson, dan person-hour belum bisa digunakan untuk menggantikan manhood, freshman, dan manhour.
Adanya hambatan-hambatan itu menyebabkan kita kembali pada ide awal penetralan dalam semantik. Pada umumnya, bilamana ada dua kata yang berlawanan karena perbedaan seksnya, kata yang tak berpenanda (unmarked terms) dianggap netral. Meskipun tidak mutlak, biasanya bentuk maskulinlah yang tak berpenanda. Kenyataan ini mau tak mau harus diterima karena susunan masyarakat patriarki ada dalam hampir setiap aspek kehidupan.
Opini AndaKlik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Lihat Sejarah Pengadaan  Konversi Metadata   Kembali
design
 
Process time: 0.09375 second(s)