Dalam pranata masyarakat yang bersifat patrilinial pada umumnya, seorang perempuan yang menyandang predikat sebagai seorang istri dibebani oleh berbagai kewajiban yang dilandasi suatu konsep pengabdian terhadap suami (laki-laki), dimana beberapa kebudayaan mendukung hal itu. Masyarakat pun masih memandang perempuan dalam kedudukan serta peranannya hanya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Mereka masih meyakini bahwa wilayah domestiklah yang paling tepat sebagai wilayah kerja bagi perempuan untuk berkiprah. Keyakinan yang demikian inilah yang menimbulkan masalah dalam perkawinan diantaranya kekerasan dalam rumah tangga serta terjadinya marital rape. Kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga tidak hanya meliputi kekerasan fisik namun juga meliputi kekerasan non fisik maupun kekerasan ekonomi. Permasalahan yang akan dibahas adalah mengenai bagaimana perlindungan terhadap perempuan (istri) yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dilihat dari kedudukan dan peranan perempuan menurut Undang- undang No.7 Tahun 1984, Undang-undang No.1 Tahun 1974 serta KUHP. Dari tiga kasus yang dianalisa, telah teljadi pelanggaran-pelanggaran yang fatal dalam penerapan undang-undang, yaitu pasal 31,34,41,45 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal16 ayat (1) huruf c Konvensi CEDAW serta Pasal19 PP No.9 Tahun 1975. |