Anda belum login :: 07 Jun 2025 09:45 WIB
Home
|
Logon
Hidden
»
Administration
»
Collection Detail
Detail
Bahasa Pakpak Dairi: kedwibahasaan penuturnya
Oleh:
Basaria, Ida
;
Hasibuan, Namsyah Hot
;
Harefa, Yulianus
Jenis:
Article from Proceeding
Dalam koleksi:
KIMLI 2018: Kongres International Masyarakat Linguistik Indonesia, 13-16 Agustus 2018, Universitas Papua, Manokwari: “Mengusung Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah menuju Kesetaraan dalam Kebhinekaan.”
,
page 133-138.
Topik:
Sosiolinguistik
;
pergeseran bahasa
;
kedwibahasaan
;
kediglosiaan
Fulltext:
133-138.pdf
(287.59KB)
Isi artikel
Peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih dalam sebuah masyarakat yang plural merupakan gejala yang alami. Anak-anak cenderung membentuk dirinya sebagai dwibahasawan atau bahkan multibahasawan secara alamiah tanpa direncanakan oleh orang tua mereka. Berasarkan perkiraan Holmse (1992:79) dan Grosjean (dalam Romain, 1989:vii) hampir separuh dari penduduk dunia adalah dwibahasawan dan kedwibahasaan atau bilingualitas terdapat hampir setiap negara di dunia. Kondisi adanya kedwibahaan tak bisa dilepaskan dengan istilah kediglosiaan. Diglosia pada hakikatnya adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menyebut suatu keadaan masyarakat yang mengenal dan menggunakan dua bahasa atau lebih untuk berkomunikasi di antara anggotaanggotanya. Jadi pada situasi diglosia pemakaian dua bahasa atau lebih dalam masyarakat yang sama ‘diatur’ oleh suatu kebijakan untuk pilihan bahasa yang akan digunakan.Peristiwa-peristiwa diglosia menunjukkan adanya pembagian fungsi dari dua atau lebih bahasa juga memberi kesan akan adanya jenis bahasa yang “tinggi” dan jenis bahasa yang “rendah”. Jenis bahasa yang tinggi dipergunakan dalam situasi-situasi yang dianggap lebih formal, oleh orang-orang yang termasuk terpelajar, dan nilai lebih berprestise dan bergengsi. Sedangkan jenis bahasa yang rendah dipergunakan dalam situasisituasi yang lebih informal, oleh orang kebanyakan dan sebagai alat pergaulan umum. Jadi pada kenyataannya, situasi diglosia ini sesungguhnya terjadi di Indonesia. Fungsi tinggi diemban oleh bahasa Indonesia dan fungsi rendah diemban oleh bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bahasa nasional sebagai bahasa kedua yang menghendaki agar semua lapisan masyarakat menggunakannya, bisa berakibat bahasa daerah sebagai bahasa pertama sedikit demi sedikit terkikis. Apabila hal ini tetap dipaksakan, maka bahasa daerah yang kurang kuat karena sedikit penggunanya bisa menghilang bahkan tidak dikenal lagi di masa yang akan datang. Bisa-bisa terbentuk yang dinamakan pola substractive bilingual dalam masyarakat Indonesia, yakni penguasaan bahasa kedua (bahasa Indonesia) lambat laun menggantikan bahasa pertama (bahasa daerah). Hal ini tentunya sangat disayangkan sekali, karena bersamaan dengan hilangnya bahasa-bahasa daerah, kearifan lokal atau kearifan tradisional yang tersimpan dalam tradisi lisan juga tidak dapat diselamatkan. Hal itu apabila dilihat dari sisi pertentangan; Berbeda apabila dilihat dari sisi persatuan, maka antara bahasa daerah dan bahasa nasional bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Penelitian ini ingin mengkaji dari analisis teori sosiolingistik bagaimana bahasa Pakpak Dairi sebagai bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dipakai oleh penutur-penuturnya di Sumatera Utara yang mengalami situasi kediglosiaan secara tidak seimbang.
Opini Anda
Klik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!
Kembali
Process time: 0 second(s)