Anda belum login :: 02 Jun 2025 22:13 WIB
Home
|
Logon
Hidden
»
Administration
»
Collection Detail
Detail
Kuasa bahasa dalam "ditiung memeh hujan" karya Pangeran Aria Seoriaatmadja (bupati Sumedang 1883-1919): ambivalensi dalam otoritas kolonial
Oleh:
Hidayat, Angga Pusaka
;
Hudayat, Asep Yusup
Jenis:
Article from Proceeding
Dalam koleksi:
KOLITA 15 : Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Kelima Belas
,
page 741-745.
Topik:
bahasa
;
ambivalensi
;
kolonial
Fulltext:
741-745 (Angga Pusaka Hidayat, Asep Yusup Hudayat - OK).pdf
(321.09KB)
Ketersediaan
Perpustakaan PKBB
Nomor Panggil:
406 KLA 15
Non-tandon:
1 (dapat dipinjam: 1)
Tandon:
1
Reserve
Lihat Detail Induk
Isi artikel
Wacana kolonial tentang praktik-praktik kekuasaan dalam kajian poskolonial merupakan topik-topik mutakhir yang penting untuk diteliti melalui representasi-representasinya. Salah satu representasi dari praktik-praktik kekuasaan pada masa kolonial adalah buku Ditioeng Memeh Hudjan (DMH) karya Pangeran Aria Soerjaatmadja, Bupati Sumedang periode 1883-1919, yang cukup representatif menggambarkan “perlawanan” masyarakat terjajah pada masa kolonial. Sejumlah teks dalam karya tersebut mempertentangkan keyakinan-keyakinan masyarakat pribumi dengan realitas yang dihadapi kaum pribumi dalam penguasaan kaum kolonialis. Pemanfaatan metafor-metafor tentang penguasa dalam DMH pun menjadi penting untuk diungkap menyangkut penyembunyian perlawanan dibalik kepatuhan formal seorang bupati atas penguasa tertingginya. DMH menunjukkan ambivalensi perlawanan-kepatuhan kaum pribumi. Di dalamnya pun tampak ambivalensi otoritatif-penyesuaian kaum kolonialis dalam perbedaan kultural. Bahasa di dalamnya menjadi objek berharga bagi penjejakan upaya-upaya kaum pribumi dalam menghimpun kesadarannya sebagai kaum terjajah.Bhabha menegaskan bahwa ambivalensi bukan saja sebagai penanda trauma subjek kolonial, tetapi juga sebagai ciri dari cara kerja otoritas kolonial serta perlawanannya. Kehadiran kolonial selalu ambivalen, terpecah antara menampilkan dirinya yang asli dan otoritatif dengan artikulasinya yang menunjukkan pengulangan dan perbedaan (Loomba (2003: 229). Kondisi tersebut dapat berimbas kepada kaum pribumi yang berada dalam dilema antara menerima sekaligus menolak pengaruh yang hadir dalam kehidupannya. Bahasa metaforis pun menjadi bagian yang merepresentasikan ambivalensi tersebut di tengah keharusan seorang bupati pada saat itu tunduk dan patuh kepada kepentingan kolonial. Karya yang ditulis Pangeran Aria Soerjaatmadja tersebut menjadi bagian penting sebagai petunjuk ke arah pemberdayaan kekuatan metafora-metafora sebagai media perlawanan atas otoritas kolonial.Dengan demikian, makalah ini berupaya untuk menunjukkan kuasa bahasa dan penunjukkan ambivalensi pada masa kolonial berupa perlawanan dan penerimaan. Metode riset ini adalah metode hermeneutik dengan pendekatan utama yang digunakan adalah postkolonial. Pendekatan ini digunakan untuk membongkar teks dengan mempertimbangkan hubungan-hubungan di dalamnya menyangkut bahasa dan kekuasaan. DMH adalah lahan berharga yang perlu dijejak untuk mengungkap bagaimana kesadaran identitas dibentuk dalam praktik kekuasaan kolonial.
Opini Anda
Klik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!
Kembali
Process time: 0 second(s)