Anda belum login :: 04 Jun 2025 06:06 WIB
Detail
ArtikelKesantunana Tuturan Mad'u Dalam Dakwah Dialogis di Kota Surakarta Kajian Sosiopragmatik  
Oleh: Nugroho, Miftah ; Tarjana, Sri Samiati ; Purnanto, Dwi
Jenis: Article from Proceeding
Dalam koleksi: KOLITA 14 : Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Keempat Belas, page 235-239.
Topik: Dakwah dialogis; Dai; Mad'u; Kesantunan
Fulltext: hal 235-239.pdf (18.75MB)
Ketersediaan
  • Perpustakaan PKBB
    • Nomor Panggil: 406 KLA 14
    • Non-tandon: 1 (dapat dipinjam: 1)
    • Tandon: 1
   Reserve Lihat Detail Induk
Isi artikelDakwah sebagai proses komunikasi dapat bersifat monologis dan bersifat dialogis. Bersifat monologis manakla dakwah hanya berisi ceramah dari dai. Adapaun mad’u sebagai objek dakwah hanya mendengarkan ceramah dai atau sesekali menjawab pertanyaan dai. Sebaliknya, dakwah bersifat dialogis manakala dakwah tidak hanya berisi ceramah, namun juga berisi tanya jawab antara dai dan mad’u (Suparta dan Hefni, 2009). Dakwah sebagai komunikasi verbal tidak hanya dituntut agar pesan yang disampaikan jelas, namun juga diharapkan agar pesan dakwah yang disampaikan dapat menyejukkan mad’u. Dengan kata lain, dalam dakwah tidak hanya faktor kejelasan yang diutamakan, namun faktor kenyamanan juga patut diperhatikan. Oleh karena itu, dai sebagai subjek dakwah, dituntut agar dapat menyampaikan pesan dakwah secara jelas dan agar tuturannya menyejukkan, menyenangkan atau tidak membuat mad’u sebagai mitra tuturnya merasa kehilangan muka. Selama ini penelitian perihal penggunaan bahasa pada ranah dakwah banyak terdapat pada dakwah monologis dan hanya ditekankan pada penggunaan bahasa dai (lihat Ma’ruf, 1999; Hidayat, 1999; Subagyo, 2000; Maksan, 2001; Atmawati ,2002; Hadisaputra, 2005; Sadhono, 2005; Gusneti, 2007; Atmawati, 2009; Abdullah, 2010; Sadhono, 2011). Adapun penelitian yang mengkaji dakwah dialogis masih sedikit. Oleh karena itu, terdapat rumpang yang besar terhadap penelitian penggunaan bahasa pada dakwah dialogis. Selain itu, jika dicermati secara seksama, ternyata masih sedikit pula penelitian yang mengkaji tuturan mad’u dalam dakwah dialogis. Sebagaimana penjelasan di muka bahwa penelitian bahasa perihal dakwah banyak menyinggung bahasa dai, seperti tindak tutur apa saja yang dikemukakan oleh dai atau bagaimana kesantunan berbahasa dai. Hal ini dapat dipahami karena dai memang menjadi sosok sentral dalam sebuah dakwah layaknya guru dalam proses belajar mengajar. Oleh karena sifat dialogis, tuturan mad’u menjadi layak pula untuk dikaji lebih mendalam, terutama perihal kesantunan berbahasa. Artinya, tidak hanya dai yang diharapkan bertutur santun kepada mad’u, namun juga mad’u diharapkan pula bertutur santun kepada dai pada saat memasuki sesi tanya jawab. Penelitian ini mengambil data dari berbagai dakwah dialogis yang terjadi di kota Surakarta. Sumber data diambil dari dakwah yang diselenggarakan oleh ormas Islam dan masjid-masjid yang tidak berafiliasi dengan ormas Islam. Setelah data terkumpul, diklasifikasi, dan dianalisis dengan metode kontekstual dan metode heurestik. Dari data yang telah terkumpul, ditemukan bahwa mad’u juga menggunakan berbagai strategi bertutur pada saat menyampaikan tindak tutur kepada dai. Tentu saja kesantunan berbahasa mad’u dipengaruhi oleh budaya mereka tinggal yaitu budaya Surakarta. Hal ini ditandai dengan ketidaklangsungan bertutur yang disampaikan mad’u. Namun terdapat pula kelangsungan bertutur mad’u kepada dai. Meskipun terdapat faktor kekuasaan dan jarak sosial (Brown dan Levinson, 1987; Spencer Oatey, 2008), hal ini tampaknya tidak mempengaruhi mad’u untuk bertutur langsung kepada dai.
Opini AndaKlik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Kembali
design
 
Process time: 0.03125 second(s)