Pembangunan rumah sebagai salah satu bagian dari sektor jasa konstruksi sangat penting bagi masyarakat. Namun, dalam praktiknya banyak proyek pembangunan rumah yang dilaksanakan tanpa kontrak tertulis, melainkan hanya berdasarkan kesepakatan lisan atau gentlemen's agreement. Hal ini sering menimbulkan permasalahan hukum, khususnya apabila terjadi pembatalan proyek secara sepihak oleh pengguna jasa. Skripsi ini mengkaji implikasi hukum dari pembatalan sepihak proyek konstruksi rumah tanpa perjanjian tertulis, serta pelaksanaan prinsip Good Corporate Governance dalam Perseroan Terbatas dalam konteks tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan pendekatan perundang- undangan dan analisis terhadap dua studi kasus, yaitu kasus PT Arta Kirana Perkasa dan PT Darwindo. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun perjanjian lisan diakui sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata, namun secara praktik pelaksanaan proyek konstruksi tanpa perjanjian tertulis tidak sesuai dengan Pasal 46 ayat (1) UU Jasa Konstruksi yang mewajibkan dituangnya kontrak secara tertulis dalam suatu kontrak kerja konstruksi. Dalam perspektif tata kelola perusahaan, pelaksanaan proyek tanpa kontrak tertulis merupakan pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kepatuhan hukum yang harus dijalankan oleh Perseroan Terbatas sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance. Skripsi ini merekomendasikan pentingnya kewajiban formalisasi kontrak kerja konstruksi secara tertulis demi menjamin kepastian hukum, perlindungan hukum bagi kontraktor, dan penerapan tata kelola perusahaan yang baik. |