Penelitian ini membahas permasalahan hukum terkait Penerapan sertifikat tanah elektronik di Indonesia, yang diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 3 Tahun 2023, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan administrasi pertanahan. Namun, tantangan muncul, terutama terkait validitas sertifikat ini ketika barcode, yang menjadi alat verifikasi penting, mengalami kerusakan. Memorandum ini membahas perlindungan hukum bagi pemegang sertifikat tanah elektronik dan risiko yang terkait dengan kerusakan barcode yang menghalangi keabsahan bukti digital. Dokumen ini juga mengulas kerangka hukum terkait kepemilikan tanah di Indonesia, hak dan kewajiban pemilik tanah, serta kompleksitas operasional dan hukum dalam verifikasi kepemilikan melalui media elektronik. Kasus Efran Dippos Sinaga, yang barcode sertifikat tanah elektroniknya rusak saat mengajukan pinjaman bank, dijadikan contoh utama dalam pembahasan. Memorandum ini memberikan wawasan tentang mekanisme hukum yang tersedia bagi pemilik tanah untuk membuktikan kepemilikan meskipun terjadi masalah teknis, serta upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah untuk melindungi data tanah elektronik dan memastikan pengakuan hukum yang berkelanjutan meskipun terjadi gangguan teknis. Selain itu, dokumen ini menekankan pentingnya perbaikan sistem hukum untuk mengakomodasi dokumentasi digital dan perlunya infrastruktur serta regulasi yang lebih baik dalam mengelola transisi menuju sertifikat tanah elektronik yang efektif. |