Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (5), telah menimbulkan perbedaan penafsiran terkait kewajiban permohonan izin dan pembayaran royalti atas penggunaan karya cipta dalam pertunjukan musik secara langsung (Live Concert). Pasal 9 ayat (2) mengatur bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib memperoleh izin dari pencipta atau pemegang hak cipta, sedangkan Pasal 23 ayat (5) menyatakan bahwa penggunaan secara komersial dapat dilakukan tanpa izin terlebih dahulu sepanjang imbalan dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Perbedaan pengaturan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam praktik, sebagaimana tercermin dalam perkara Hak Cipta Nomor 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst. Metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis empiris dengan menggunakan data primer dan sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dokumen hukum, serta wawancara dengan pihak terkait. Berdasarkan hasil analisis, disimpulkan bahwa pelaku pertunjukan tetap diwajibkan untuk memperoleh izin apabila pencipta menetapkan sistem lisensi langsung (direct license), dan penggunaan tanpa izin dalam hal demikian dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hak cipta. Selain itu, tanggung jawab permohonan izin dan pembayaran royalti dapat dibebankan kepada pelaku pertunjukan maupun penyelenggara acara, tergantung pada perjanjian yang disepakati para pihak. Oleh karenanya, diperlukan kejelasan norma dan penguatan pemahaman terhadap mekanisme perizinan dan pembayaran royalti guna menjamin kepastian hukum serta perlindungan hak ekonomi bagi pencipta. |