Prostitusi sering disebut sebagai "victimless crime" atau kejahatan tanpa korban tanpa mempertimbangkan bentuk-bentuk kekerasan yang dapat dialami seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) ketika menjalani pekerjaannya. Stigma sosial yang melekat pada PSK sebagai individu yang “najis” dan “tidak bermoral” memperburuk situasi ini, menyebabkan PSK seringkali mendapat perlakuan tidak adil dari aparat ketika mereka menjadi korban tindak pidana. Penelitian ini membahas mengenai kedudukan PSK serta pelaksanaan perlindungan hukum bagi PSK yang berlaku sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Praktik prostitusi secara tersirat memenuhi unsur ketenagakerjaan karena melibatkan penjualan jasa untuk memperoleh penghasilan, pekerjaan ini dianggap bertentangan dengan norma kesusilaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga PSK tidak dapat disebut sebagai pekerja dalam hubungan kerja. Di sisi lain, beberapa daerah seperti DKI Jakarta, Kota Tangerang, dan Aceh mengkriminalisasi prostitusi melalui Peraturan Daerah, yang semakin memperlemah kedudukan hukum PSK. Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris dengan mewawancarai 2 orang yang berprofesi sebagai PSK di daerah Tangerang Selatan dengan didukung data sekunder dari peraturan perundang-undangan dan literatur terkait. Hasil penelitian menunjukkan PSK tidak dapat diakui sebagai pekerja dan tidak memperoleh perlindungan ketenagakerjaan secara penuh. Perlindungan hukum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan pun bergantung pada kesediaan PSK melapor sebagai korban, yang sering terhambat oleh ketakutan terhadap stigma dan viktimisasi ulang. Kondisi ini membuat PSK berada dalam kekosongan hukum dan tanpa perlindungan yang efektif. |