Penelitian ini mengkaji pelanggaran hak cipta dalam Konser Swara Luminous Night, di mana Vika Fitri selaku Pelaku Pertunjukan membawakan dua lagu ciptaan Rafly Alfarisi tanpa izin dan tanpa pembayaran royalti. Metode yang digunakan adalah yuridis-empiris, melalui analisis normatif terhadap UUHC dan PP 56/2021 serta wawancara dengan pelaku industri. Fokus pembahasan mencakup: (1) penafsiran sistematik antara Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (5) UUHC; (2) batas waktu pelanggaran performing right jika royalti tidak dibayarkan; dan (3) legalitas direct licensing sebagai mitigasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 23 ayat (5) UUHC mencerminkan sistem lisensi kolektif atas performing right, di mana izin dianggap sah melalui pembayaran royalti kepada LMK. Tanggung jawab pembayaran secara praktik dibebankan kepada penyelenggara, bukan Artis. Dalam kasus ini, Kirana Group tidak melaksanakan kewajiban administratif maupun membayar royalti setelah somasi, sehingga pelanggaran dianggap terjadi sejak pertunjukan berlangsung. Namun, sistem kolektif ini hanya berlaku untuk performing right. Hak lain seperti mechanical right dan synchronization right tetap memerlukan izin langsung dari pencipta. Oleh karena itu, direct licensing tidak berlaku untuk performing right, tetapi tetap sah dan relevan untuk hak ekonomi lainnya sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak dalam Pasal 80–82 UUHC. |