Penulisan hukum ini membahas penerapan sanksi pidana terhadap Dinda, seorang anak berusia 17 tahun yang terbukti menggunakan narkotika golongan I jenis sabu, dengan fokus pada kesesuaian putusan dengan prinsip keadilan restoratif dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Meskipun Dinda memenuhi syarat formil untuk diversi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), proses diversi tidak dilaksanakan pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun persidangan. Putusan hakim yang menjatuhkan pidana penjara selama tujuh bulan juga mengabaikan pendekatan rehabilitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 54 dan Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang seharusnya menjadi respons utama terhadap anak yang terbukti sebagai pengguna untuk diri sendiri. Selain itu, laporan penelitian kemasyarakatan yang wajib dipertimbangkan hakim menurut Pasal 60 ayat (3) dan (4) UU SPPA tidak dijadikan dasar pertimbangan utama dalam putusan. Pemenjaraan terhadap Dinda bertentangan dengan Pasal 71 huruf c dan Pasal 81 ayat (5) UU SPPA yang menegaskan bahwa pidana penjara hanya boleh dijatuhkan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium). Putusan tersebut juga mengabaikan prinsip perlindungan anak dalam Pasal 59 ayat (2) huruf e dan Pasal 64 huruf g UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta hak konstitusional anak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, kasus Dinda menunjukkan tidak konsistennya penerapan prinsip keadilan restoratif dan kepentingan terbaik bagi anak, sehingga memperkuat urgensi reformasi dalam praktik peradilan pidana anak di Indonesia. |