Perkembangan teknologi voice generator berbasis kecerdasan buatan (AI) telah menciptakan tantangan baru dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Teknologi ini memungkinkan pelaku meniru suara seseorang dengan sangat mirip dan digunakan sebagai alat dalam menjalankan modus penipuan, terutama dengan menyamar sebagai tokoh publik atau kerabat korban. Modus ini tidak hanya menyebabkan kerugian materil, tetapi juga menyisakan dampak psikologis yang mendalam bagi korban, seperti trauma dan kehilangan kepercayaan. Dalam konteks ini, penyalahgunaan teknologi voice generator menjadi urgensi hukum yang perlu dianalisis secara komprehensif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk pertanggungjawaban hukum terhadap penyalahgunaan teknologi voice generator berbasis AI dalam tindak pidana penipuan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi pustaka. Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, dan sekunder, yang dianalisis secara kualitatif-deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang memanipulasi informasi elektronik agar tampak otentik, sebagaimana dibuktikan dalam putusan pengadilan tersebut. Selain itu, Pasal 378 KUHP tetap relevan sebagai alternatif dasar hukum dalam kasus penipuan yang melibatkan teknologi, dan Pasal 53 ayat (1) KUHP dapat digunakan ketika belum terdapat kerugian nyata namun terdapat unsur percobaan. Ketiga pasal ini menunjukkan fleksibilitas hukum dalam menjawab tantangan kejahatan digital yang semakin kompleks. |