Penelitian ini membahas perbedaan pemidanaan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang memiliki hubungan keluarga dengan korban, dibandingkan dengan pelaku yang tidak memiliki hubungan keluarga. Analisis dilakukan terhadap empat putusan pengadilan, yaitu Putusan Nomor 69/Pid.Sus/2023/PN Kot, Putusan Nomor 104/Pid.Sus/2020/PN Gns, Putusan Nomor 9/Pid.Sus/2021/PN Skl, dan Putusan Nomor 77/Pid.Sus/2023/PN Kot. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji faktor-faktor yang dapat memberatkan sanksi pidana terhadap pelaku. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu pendekatan yang mengkaji pada studi kepustakaan dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan. Sumber data berasal dari bahan hukum primer seperti undang-undang dan putusan pengadilan, serta bahan hukum sekunder seperti buku dan jurnal. Pembahasan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa secara normatif, pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang memiliki hubungan keluarga seharusnya dijatuhi pidana lebih berat, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Namun dalam praktiknya, putusan pengadilan belum selalu mencerminkan ketentuan tersebut secara konsisten. Kesimpulan dari penelitian ini adalah penerapan sanksi pidana dalam Putusan Nomor 69/Pid.Sus/2023/PN Kot telah mencerminkan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Sebaliknya, sanksi pidana dalam Putusan Nomor 104/Pid.Sus/2020/PN Gns dan Putusan Nomor 9/Pid.Sus/2021/PN Skl belum sejalan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum. Hal tersebut disebabkan oleh putusan hakim dalam kedua perkara yang masih berada pada batas minimum pidana, meskipun terdapat sejumlah faktor yang seharusnya menjadi pertimbangan pemberatan, seperti adanya hubungan keluarga antara pelaku dan korban, pengulangan tindak pidana, serta dampak psikologis yang ditimbulkan terhadap korban, yang sejatinya serupa dengan perkara dalam Putusan Nomor 69/Pid.Sus/2023/PN Kot. |