Penelitian hukum ini mengkaji pengaturan pelaksanaan upaya paksa bagi pelaku yang tidak mau membayar atau tidak mampu membayar dalam pemenuhan restitusi terhadap anak sebagai korban tindak pidana, serta penerapan upaya paksa yang terjadi bagi pelaku yang tidak mau membayar atau tidak mampu membayar dalam pemenuhan restitusi terhadap anak sebagai korban tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris melalui wawancara dengan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negri Jakarta Pusat dan Tenaga Ahli Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, analisis tiga putusan pengadilan dan analisis peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan upaya paksa pemenuhan restitusi bagi anak korban tindak pidana diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan dijelaskan melalui PP No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana . Restitusi adalah ganti rugi yang dibayarkan oleh pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Hasil dari analisis tiga putusan mencakup mekanisme alternatif jika pelaku tidak mampu membayar penuh restitusi antara lain dengan cara penyitaan dan pelelangan harta kekayaan pelaku, negara akan membayar melalui dana bantuan korban dan terhadap pelaku akan dihukum pidana penjara tambahan. Perbedaan aturan dalam berbagai undang-undang menciptakan celah hukum yang menghambat pelaksanaan restitusi secara optimal, ketidaksiapan instrumen negara dalam menjamin pembayaran penuh restitusi menunjukkan bahwa keadilan hanya hadir di atas kertas bukan realitas konkret, serta keterbatasan sumber daya manusia di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban turut memperburuk efektivitas restitusi terhadap korban. |