(E) Peningkatan jumlah anak yang terlibat dalam tindak pidana di Indonesia, khususnya pencurian, menunjukkan urgensi untuk meninjau ulang efektivitas sistem peradilan pidana anak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penegakan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana pencurian agar sesuai dengan prinsip the best interest of the child (kepentingan terbaik bagi anak) sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Konvensi Hak Anak, dan The Beijing Rules. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi putusan. Hasil analisis terhadap tiga putusan, yakni Putusan No. 8/Pid.Sus-Anak/2019/PN Pkb, No. 9/Pid.Sus-Anak/2019/PN Mtr, dan No. 4/Pid.Sus-Anak/2016/PN.Kpn menunjukkan masih adanya ketidakkonsistenan penerapan prinsip kepentingan terbaik bagi anak yakni dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara aktif, tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat, sidang dilakukan secara tertutup untuk umum, tidak dipublikasikan identitasnya, memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya dan memperoleh advokasi sosial. Dalam dua kasus, anak langsung dijatuhi pidana penjara meskipun kerugian di bawah Rp2.500.000,. Bahkan, rekomendasi diversi dari pembimbing kemasyarakatan diabaikan, dan identitas anak dipublikasikan, yang bertentangan dengan Pasal 19 UU SPPA dan Perma Nomor 4 Tahun 2014. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan pentingnya reformulasi ketentuan diversi, penguatan peran pembimbing kemasyarakatan, serta perlindungan hak anak dalam tiap tahapan proses hukum. Sistem peradilan anak perlu diarahkan kembali pada pendekatan rehabilitatif dan restoratif, bukan represif, agar mampu memberikan perlindungan hukum yang adil, manusiawi, dan berkelanjutan bagi masa depan anak yang berhadapan dengan hukum. |