Indonesia merupakan salah satu negara yang memegang erat kampanye war on drugs, sehingga tidak dapat dipungkiri jika hal ini dapat memberikan dampak atas kekosongan definisi hukum yang membedakan jenis dari pengedar narkotika itu sendiri. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah pengaturan dan konsekuensi hukum terhadap pengedar perempuan, female drug mules, dan perempuan yang menjadi korban dalam jaringan pengedaran narkotika di Indonesia; serta bentuk perlindungan hukum terhadap female drug mules di Indonesia. Pada dasarnya pengedar narkotika dibagi menjadi tiga jenis yaitu pengedar narkotika, drug mules, dan korban dari jaringan pengedaran narkotika. Drug mules adalah korban eksploitasi relasi kuasa yang digunakan untuk menyelundupkan sekian banyak narkotika melewati perbatasan wilayah dan/atau negara dengan menerima atau tidak menerima keuntungan. Penelitian ini dilaksanakan secara yuridis-normatif, di mana penulis telah melaksanakan wawancara bersama dua narasumber praktisi hukum, serta melakukan perbandingan Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika bersama PERMA Nomor 3 Tahun 2017, KUHP, KUHAP, Undang-undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta bersamaan dengan konvensi internasional seperti CEDAW, The Nelson Mandela Rules, dan The Bangkok Rules. Penelitian ini menemukan fakta bahwa dalam peraturan nasional, Indonesia tidak memiliki pengaturan yang mengatur secara spesifik mengenai perlindungan hukum terhadap female drug mules. Atas kampanye war on drugs yang sangat didukung oleh pemerintah, tidak dapat dipungkiri bahwa Hakim berpendapat bahwa siapa saja yang memiliki keterkaitan dengan pengedaran narkotika itu sendiri dianggap bersalah. Sehingga dibutuhkan penegasan kembali bahwa female drug mules tergolong sebagai perempuan rentan yang membutuhkan bantuan hukum secara lebih konkrit. |