Perubahan iklim global yang semakin mengkhawatirkan mendorong negara-negara di dunia untuk mencari solusi berbasis pasar, salah satunya melalui mekanisme perdagangan karbon. Indonesia telah mengambil langkah strategis melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023, yang menetapkan unit karbon sebagai efek yang diperdagangkan melalui Bursa Karbon. Namun, klasifikasi ini menimbulkan berbagai pertanyaan yuridis, terutama terkait aksesibilitas, keadilan, dan kepastian hukum bagi pelaku pasar yang tidak berasal dari sektor keuangan. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan pendekatan perbandingan, dengan menganalisis status hukum unit karbon di Indonesia serta membandingkannya dengan regulasi yang berlaku di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia. Data dikumpulkan melalui studi pustaka terhadap peraturan perundangundangan, doktrin, dan literatur ilmiah yang relevan. Analisis dilakukan secara kualitatif untuk menilai konsistensi antara norma hukum nasional dengan prinsip tata kelola karbon yang inklusif dan efisien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggolongan unit karbon sebagai efek di Indonesia memberikan legitimasi hukum yang kuat, namun juga membatasi partisipasi publik yang lebih luas. Sementara itu, yurisdiksi seperti Amerika Serikat, Australia, dan Uni Eropa mengakui unit karbon sebagai komoditas, yang memungkinkan pengaturan yang lebih fleksibel. Dengan demikian, Indonesia disarankan untuk mempertimbangkan pendekatan hukum yang adaptif dan berbasis prinsip keadilan iklim guna menciptakan perdagangan karbon yang efektif dan inklusif. |