Perkembangan teknologi digital di Indonesia telah mendorong maraknya pelaporan kriminal terhadap ekspresi warga negara, terutama terhadap para pembela hak asasi manusia seperti jurnalis dan aktivis. Salah satu kasus yang paling menonjol adalah pelaporan terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanty oleh Luhut Binsar Pandjaitan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Kasus ini dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE serta Pasal 433 dan 434 KUHP. Lalu bagaimana kualifikasi hak atas kebebasan berekspresi dan delik ujaran kebencian di Indonesia? Hak atas kebebasan berekspresi dijamin dalam berbagai instrumen hukum seperti ICCPR dan UUD 1945, namun dapat dibatasi secara hukum apabila memenuhi asas legalitas, nesesitas, dan proporsionalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 19 (3) ICCPR. Dalam praktiknya, pembatasan ini kerap menimbulkan kriminalisasi terhadap pembela HAM. Pasal-pasal UU ITE dan KUHP seringkali dimanfaatkan untuk membungkam kritik, padahal jurnalis dan pembela HAM memiliki hak khusus atas kebebasan berpendapat dalam konteks kepentingan publik. |