| Fenomena Pink Tax merupakan suatu bentuk diskriminasi harga yang berbasis gender, di mana produk atau jasa yang ditujukan untuk perempuan dijual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk serupa yang ditujukan untuk laki-laki. Fenomena ini sering kali terjadi pada berbagai produk, seperti deodoran, sabun cuci muka, dan alat cukur. Dampak dari praktik ini secara langsung mengakibatkan kerugian finansial bagi konsumen perempuan serta menciptakan ketidakadilan dalam perlakuan terhadap konsumen perempuan. Dalam konteks hukum, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menjamin hak konsumen untuk diperlakukan secara adil tanpa adanya diskriminasi. Namun, perlindungan terhadap diskriminasi harga yang berdasarkan gender belum diatur secara spesifik, sehingga menimbulkan kekosongan hukum yang berpotensi mengakibatkan perlindungan terhadap konsumen perempuan tidak sepenuhnya terpenuhi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yang dilakukan dengan menganalisis bahan atau dokumen hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hasil penelitian menunjukkan adanya kekosongan hukum terkait dengan fenomena Pink Tax, serta perlunya penguatan regulasi yang berkaitan dengan isu ini. Selain itu, penelitian ini juga menekankan pentingnya kolaborasi antara konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah, yang didukung oleh lembaga-lembaga perlindungan konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), untuk memperkuat perlindungan hukum kepada perempuan sebagai konsumen secara menyeluruh, dari diskriminasi harga berdasrkan gender di Indonesia. |