Penelitian ini membahas permasalahan mengenai pembatasan usaha bagi pelaku usaha kuliner non-halal di Indonesia. Permasalahan utama yang diangkat adalah bagaimana perlindungan hukum terhadap pelaku usaha kuliner non-halal dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia serta bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa secara perdata bagi pelaku usaha yang mengalami kerugian akibat pembatasan usaha, baik dari pemerintah daerah maupun kelompok masyarakat tertentu seperti organisasi kemasyarakatan (ormas). Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Data diperoleh dari sumber hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, sumber hukum sekunder, serta studi kasus yang relevan dengan isu utama. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa belum terdapat regulasi khusus yang memberikan perlindungan hukum secara eksplisit kepada pelaku usaha kuliner non-halal. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan rentan menyebabkan pelanggaran terhadap hak pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan ekonominya. Dalam kasus tertentu, pelaku usaha yang telah memiliki kontrak kerja sama dengan pihak penyelenggara atau pemilik tempat usaha tetap dapat mengalami pembubaran secara sepihak oleh pihak lain. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme penyelesaian sengketa secara perdata, seperti pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap pihak-pihak yang menyebabkan kerugian. Kesimpulannya, dibutuhkan pengaturan hukum yang lebih progresif dan inklusif untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi pelaku usaha kuliner non-halal di Indonesia, guna menjamin keadilan dan kepastian hukum dalam praktik usaha di masyarakat yang majemuk. |