Penelitian ini mengkaji proses pelaksanaan ganti rugi dalam gugatan class action di Indonesia yang kerap tidak terealisasi akibat gagal bayar dan strategi mitigasi hukum oleh tergugat. Gugatan class action merupakan mekanisme penting dalam memberikan perlindungan hukum kolektif bagi masyarakat yang mengalami kerugian serupa. Namun, dalam praktiknya, realisasi ganti rugi seringkali tidak sebanding dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Penelitian ini menekankan pentingnya penguatan mekanisme eksekusi melalui keterlibatan notaris, auditor publik, serta pengawasan eksternal oleh lembaga independen. Selain itu, perlu dukungan fiskal negara melalui pembentukan dana kontinjensi agar putusan pengadilan tidak menjadi simbolik semata. Dengan perbaikan sistemik, class action dapat berfungsi optimal sebagai sarana pencapaian keadilan substantif. Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, dengan analisis terhadap peraturan perundang-undangan seperti Perma No. 1 Tahun 2002 dan KUH Perdata. Studi ini juga membahas tiga studi kasus yaitu penggusuran Bukit Duri, ganti rugi belum tuntas PT Lapindo Brantas, dan proyek perumahan Marunda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegagalan eksekusi ganti rugi terjadi karena lemahnya struktur hukum, tidak adanya escrow fund, celah administratif, hingga keterbatasan dana tergugat, khususnya jika pihak tergugat adalah lembaga publik. |