Kehilangan ayah akibat kematian pada masa remaja dapat membawa dampak psikologis yang mendalam bagi laki-laki dalam tahap emerging adulthood. Pada masa transisi ini, kehadiran figur ayah sering dianggap krusial dalam pembentukan identitas dan makna maskulinitas. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan menggambarkan bentuk resiliensi pada laki-laki emerging adulthood yang dibesarkan tanpa ayah.
Menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi, penelitian ini melibatkan empat partisipan laki-laki berusia 20–25 tahun yang mengalami kehilangan ayah karena kematian saat remaja. Data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur dan dianalisis menggunakan teknik analisis tematik. Kerangka konseptual resiliensi yang digunakan meliputi dimensi regulasi emosi, kontrol impuls, analisis kausal, empati, efikasi diri, optimisme, dan kemampuan mencari dukungan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh partisipan memiliki kapasitas resiliensi yang beragam, termanifestasi secara unik sesuai konteks pengalaman masing-masing. Proses resiliensi ini dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor individu (seperti kemampuan refleksi diri dan nilai tanggung jawab), faktor sosial (terutama relasi yang kuat dengan ibu dan keberadaan figur laki-laki dewasa lain), serta faktor lingkungan (meliputi dukungan komunitas dan kondisi ekonomi). Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan pemahaman resiliensi dalam konteks budaya Indonesia, khususnya terkait bagaimana maskulinitas dibentuk oleh pengalaman kehilangan. Selain itu, temuan ini juga menawarkan wawasan praktis bagi keluarga, pendidik, dan praktisi untuk mendampingi laki-laki muda yang mengalami kehilangan orang tua. |