Predatory Pricing, atau penetapan harga predator merupakan strategi dalam bisnis dimana perusahaan menetapkan harga rendah untuk mengeliminasi pesaing dan menguasai pasar secara tidak adil. Di Indonesia, kebijakan terkait predatory pricing diatur dalam Undang-Undang Nomot 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi berbagai hambatan, khususnya dalam metode pembuktian. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan hukum yang ada, termasuk mekanisme pembuktian dalam kasus, serta mengidentidikasi tantangan utama yang ada. Melalui metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan hukum konseptual dan peraturan perundang-undangan, penelitian ini menemukan bahwa hambatan pembuktian sering kali terhambat oleh kurangnya parameter tes dan kompleksitas dalam membedakan strategi bisnis yang legal dan praktik predator seperti pembuktian yang memakan waktu dan juga ketidakpastian dalam pemenuhan unsur. Kesulitan dalam membuktikan niat predator perusahaan, dan waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan bukti yang memadai. Selain itu, otoritas pengawas sering kali menghadapi keterbatasan dalam sumber daya dan kapasitas teknis untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan analisis ekonomi mendalam. Dalam banyak kasus, pelaku usaha dapat memanfaatkan kelemahan regulasi untuk mempertahankan praktik yang tidak adil, sehingga menurunkan kepercayaan publik terhadap upaya perlindungan pasar yang sehat. . Selain itu, metode rule of reason yang digunakan sering kali membutuhkan analisis ekonomi mendalam yang sulit diterapkan secara konsisten. Hasil penelitian ini menunjukan adanya urgensi atas regulasi untuk mengatasi hambatan yang ada, Dengan demikian, diharapkan kebijakan persaingan usaha di Indonesia mampu memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap persaingan pasar yang sehat. |