Pengunduran diri adalah salah satu jenis pemutusan hubungan kerja yang harus dilandaskan atas dasar kemauan sendiri tanpa adanya tekanan ataupun intimidasi dari perusahaan yang melatarbelakangi pengunduran diri tersebut. Namun, dalam praktiknya, ada beberapa kondisi pengunduran diri yang inisiatifnya tidak datang dari pekerja, melainkan atas kehendak perusahaan yang terjadi dalam perundingan bipartit pengakhiran hubungan kerja. Pengusaha mengarahkan pengunduran diri pekerja dengan memberikan alternatif yang memaksa dengan tidak memberikan surat pengalaman kerja dan/atau upah pekerja yang belum dibayarkan perusahaan, atau dengan menciptakan suatu keadaan khusus agar pekerja menyetujui. Oleh karena itu penulisan hukum ini akan membahas mengenai pengunduran diri pekerja berdasarkan hukum ketenagakerjaan dan penerapan prinsip itikad baik (good faith) terhadap pengunduran diri pekerja yang terjadi atas kehendak pengusaha melalui perundingan bipartit pengakhiran hubungan kerja. Metode yang digunakan dalam Penulisan hukum ini adalah metode penelitian yuridis-normatif, yang disusun dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan kasus. Perolehan data yang digunakan adalah melalui wawancara (data primer) dan studi kepustakaan (data sekunder). Pengunduran diri sebagai alternatif PHK yang ditawarkan pengusaha melalui tahap perundingan bipartit dapat dikategorikan sebagai perwujudan asas itikad baik apabila didasarkan pada kepentingan kedua belah pihak dan pekerja menerima alternatif pengunduran diri tanpa adanya tekanan atau paksaan. Namun, bila ketidakseimbangan posisi tawar memungkinkan pihak pengusaha menggunakan perundingan bipartit untuk memaksakan kehendak dengan meminta pekerja membuat surat pengunduran diri, maka perundingan bipartit tidak merepresentasikan itikad baik terhadap kepentingan pihak pekerja dan gagal memberikan perlindungan maupun pemenuhan hak bagi pekerja. |