Hukum kepailitan di Indonesia hanya terfokus pada pelunasan utang melalui likuidasi aset (debt collection), tanpa mekanisme eksplisit untuk menghapus sisa utang setelah likuidasi selesai. Sebaliknya, hukum kepailitan di Belanda, melalui The Dutch Bankruptcy Act, memungkinkan penghapusan sisa utang (debt forgiveness) bagi debitur perorangan setelah menjalani proses rehabilitasi ketat. Prinsip ini memberikan kesempatan kedua bagi debitur untuk memulai kembali tanpa beban finansial yang tersisa. Penelitian ini menganalisis mengenai penyelesaian sisa utang debitur pailit perorangan di Indonesia dan Belanda, serta konsekuensi yuridis/akibat hukum jika prinsip debt forgiveness diterapkan di Indonesia. hukum kepailitan Belanda, melalui The Dutch Bankruptcy Act, memperkenalkan prinsip debt forgiveness yang memungkinkan penghapusan sebagian atau seluruh sisa utang bagi debitur perorangan setelah menjalani proses rehabilitasi ketat. Prinsip ini memberikan kesempatan kedua bagi debitur untuk memulai kembali. Namun, penerapan debt forgiveness juga membawa risiko terjadinya moral hazard, di mana debitur dapat menyalahgunakan mekanisme ini untuk menghindari tanggung jawab utang dengan itikad buruk. |