Pada saat perusahaan dinyatakan pailit, maka dampaknya sangat luas tidak hanya bagi perusahaan itu sendiri tapi juga bagi pihak-pihak yang bekerjasama dengan perusahaan tersebut. Salah satu dari pihak tersebut adalah kreditur yang memiliki tagihan terhadap debitur pailit yang perlu mendapatkan pembayaran. Pajak yang hadir di semua lapisan masyarakat hampir pasti akan memiliki tagihan terhadap perusahaan yang pailit. Selain itu, perusahaan juga pastinya memiliki pekerja yang menghidupi keluarganya dari upah yang didapat dengan bekerja di perusahaan tersebut. Baik utang pajak maupun upah pekerja didahulukan pembayarannya dalam kepailitan meski menurut perundang-undangan yang beda. Hak mendahulu utang pajak diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sedangkan hak mendahulu upah pekerja diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Keduanya menyatakan memiliki hak mendahulu diatas yang lainnya, sehingga muncul permasalahan dan ketidakpastian hukum disini. Masalah yang timbul adalah ketika kedua kepentingan ini saling berbenturan, hak manakah yang kemudian didahulukan antara utang pajak dan upah pekerja. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian yang meneliti hukum melalui teori dan asas serta perundang-undangan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sesungguhnya hak mendahulu yang dimiliki utang pajak maupun upah pekerja sama-sama saling mendahului jika dilihat semata-mata dari ketentuan pasalnya, namun pada praktiknya asas keadilan dan asas keseimbangan dapat mengesampingkan hak mendahulu utang pajak jika dipandang lebih adil bagi semua kreditur. Oleh karenanya, perlu harmonisasi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan agar tidak terjadi ketidakpastian hukum kedepannya. |