Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran dan kedudukan pengampu (curator) serta seseorang di bawah pengampuan (curandus) dalam proses jual beli tanah selama masa pengampuan, serta menilai itikad baik pengampu dalam menjalankan kewajiban yang ditetapkan padanya. Sebagai negara hukum, Indonesia mengatur hukum perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), termasuk pengampuan yang diatur dalam Pasal 433 dan seterusnya. Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum karena kondisi seperti dungu, gila, atau boros. Pengampu bertindak sebagai wakil sah dari curandus dalam transaksi jual beli tanah, yang harus dilakukan dengan itikad baik demi kepentingan curandus. Untuk itu, muncul dua pertanyaan permasalahan yaitu mengenai bagaimana peran dan kedudukan pengampu (curator) didalam proses jual beli tanah yang hendak dilaksanakan pada masa pengampuan berlangsung dan bagaimanakah analisa itikad pengampu (curator) dalam mengemban kewajiban pada proses jual beli tanah. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan kasus, serta menganalisis data secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengampu harus memastikan jual beli tanah dilakukan untuk kepentingan curandus dan memiliki kewenangan membatalkan perjanjian yang merugikan curandus. Itikad baik dalam jual beli tanah melibatkan niat untuk tidak merugikan pihak lain dan kepentingan umum, yang dinilai dari pelaksanaan ketentuan KUHPerdata. Perbandingan dengan hukum Korea Selatan menunjukkan bahwa pengaturan pengampuan di sana lebih jelas dan memberikan kepastian hukum lebih baik. |