Microtransactions dapat dimengerti sebagai transaksi yang dilakukan dalam game online. Microtransactions itu sendiri mencakup beberapa mekanisme transaksi di dalamnya, salah satunya dikenal dengan nama mekanisme gacha. Dalam perkembangannya, praktek mekanisme gacha sendiri kerap kali memicu kontroversi dikarenakan dengan unsur yang dianutnya. Hal tersebut berkaitan dengan unsur ketidakpastian yang dimiliki oleh mekanisme gacha, yang mana secara singkat dapat dijelaskan bahwa orang-orang yang menggunakan mekanisme gacha dalam suatu game online tidak akan secara spesifik mengetahui benda virtual apa yang akan didapatkan. Dengan kata lain, adanya orang-orang tersebut diharuskan untuk membayarkan suatu harga untuk ditukarkan dengan hal yang tidak pasti. PUBG Mobile merupakan salah satu game di Indonesia yang menerapkan mekanisme gacha. Berdasarkan prakteknya, mekanisme ini seringkali dianggap sebagai perjudian, yang mana menjadi kekhawatiran, terutama mengingat game online sendiri dapat dengan mudah terjangkau oleh anak-anak di bawah umur. Dengan demikian, pertanyaan mengenai bagaimana bentuk perlindungan hukum yang bisa didapatkan oleh anak di bawah umur apabila mengalami kerugian dari mekanisme gacha muncul. Penulis melakukan analisis terhadap persoalan ini dengan menerapkan metode penelitian yuridis normatif. Berdasarkan analisis penulis, diketahui bahwa mekanisme gacha belum diatur secara khusus di Indonesia dan saat ini berdasarkan prakteknya, hanya tunduk pada Pasal 27 ayat (2) UU ITE, yang sangat sempit cakupannya untuk mengatur mekanisme tersebut. Namun, berdasarkan isi dan implementasinya mengenai syarat sah perjanjian, penulis menemukan bahwa Pasal 1320 KUHPer dapat dijadikan dasar hukum bagi anak di bawah umur apabila terjadi kerugian yang disebabkan oleh mekanisme gacha, secara khusus mengingat pasal tersebut membahas mengenai kecakapan hukum. |