Pesangon merupakan salah satu bentuk kompensasi atas hak pekerja, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang juga mengatur besaran pesangon yang diterima karyawan yang di-PHK, Salah satu kasus di yang berhubungan dengan kompensasi bagi karyawan yang mengalami PHK dari pemberi kerja adalah kasus putusan nomor 204/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Mdn yang terjadi di Medan. Kasus ini melibatkan 3 pihak yaitu Muhammad nofrian sebagai Penggugat, PT.TIFFA MITRA SEJAHTERA SEBAGAI Tergugat I, dan PT.GARUDA INDONESIA sebagai Tergugat II. Pada kasus ini penggugat merasa dicurangi dikarenakan ia di PHK oleh tempat perusahaan ia bekerja yaitu pada perusahaan Tergugat II dan Penggugat juga merasa pesangon yang ia terima dengan jumlah sebesar Rp.2.640.855,- dari Tergugat I tidak sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai pesangon dan hak-haknya sebagai pekerja. Di sisi lain, Tergugat II menolak gugatan yang ditujukan pada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., dengan menyatakan bahwa Tergugat II tidak pernah memiliki hubungan kerja dengan Penggugat, dan juga menolak gugatan membayar sisa pesangon yang seharusnya Penggugat terima sebesar Rp. 22.024.611,- dengan itu saya menemukan beberapa masalah yang menurut saya patut dibahas seperti, implementasi dari Pasal 62 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan kaitannya dengan pesangon bagi pegawai outsource serta hubungan ketenagakerjaan antara para pihak, dan juga Bagaimana posisi omnibus law sebagai bentuk atas asas lex posteriori derogat legi priori dan kaitannya dengan kasus yang ada dalam putusan nomor 204/Pdt.sus-phi/2016?, Pada studi kasus ini saya menggunakan metode penulisan deskriptif analitif dikarenakan data-data kepustakaan yang saya gunakan hanya merupakan Undang-Undang dan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai ketenagakerjaan dan pesangon, dan hasil yang telah saya simpulkan adalah bahwa implementasi Pasal 62 dapat dilihat dalam putusan Majelis Hakim yang menghukum Tergugat II untuk membayar hak-hak Penggugat yang terdiri dari, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian, dan uang pesangon yang dikalkulasikan berdasarkan Pasal 156 Ayat (2) UU No 13/2003 sebesar upah sebulan dikali dengan lamanya Penggugat telah bekerja yakni selama tiga tahun, sehingga Penggugat berhak menerima total uang berjumlah Rp.22.024.611,-. Sedangkan untuk implementasi Pasal 64 dapat dilihat dalam putusan Majelis Hakim yang mengakui bahwa para Tergugat telah memenuhi syarat perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis antara Tergugat I dan Tergugat II. Kemudian jika dianalisis menggunakan omnibus law maka, tanggung jawab atas pesangon PHK seharusnya ditanggung oleh Tergugat I, sesuai dengan perubahan Pasal 66 Undang-Undang Cipta Kerja yang menetapkan tanggung jawab perusahaan alih daya terhadap perlindungan pekerja/buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan penyelesaian perselisihan. |