Pada penulisan hukum ini, Penulis melakukan studi kasus terhadap kasus kepailitan KSP Pandawa Group. Kasus KSP Pandawa memiliki keunikan karena dalam proses penyelesaiannya terdapat dua dimensi hukum yang bergerak, yaitu hukum kepailitan dan hukum pidana. Permasalahan yang muncul akibat penerapan dua dimensi hukum tersebut adalah terjadinya tumpang tindih antara sita umum kepailitan dengan sita pidana, sehingga boedel pailit yang seharusnya menjadi hak bagi para kreditur pailit tidak dapat dilikuidasi. Judex factie Pengadilan Negeri Depok dalam putusannya menyatakan bahwa barang bukti dalam kasus investasi ilegal yang dilakukan oleh ketua pengurus KSP Pandawa Group dirampas dan dimasukan dalam kas negara. Dasar yang digunakan untuk menetapkan perampasan ini terletak pada Pasal 39 ayat (1) jo. Pasal 39 ayat (2) jo. Pasal 46 KUHAP. Sedangkan, sebelum putusan sita pidana rampas ini ada, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah menetapkan boedel pailit KSP Pandawa dalam status sita umum dan kurator yang ditunjuk telah berwenang untuk melakukan pemberesan terhadap boedel pailit tersebut. Dasar yang digunakan dalam peletakan sita umum terhadap boedel pailit KSP Pandawa adalah Pasal 21 jo. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Keberadaan dua dasar hukum yang sama-sama saling menguatkan jenis sitanya masing-masing memunculkan permasalahan baru yaitu sita manakah yang dapat diunggulkan daripada jenis sita lainnya. Berdasarkan hasil penelitian penulis, sita umum kepailitan demi hukum dapat mengesampingkan sita pidana dengan berpedoman pada asas lex speciallis derogate legi generali, lex posteriori derogat legi priori, kepastian hukum, dan pemenuhan hak asasi manusia yang dimiliki oleh kreditur pailit. |