Penambangan Aset Kripto telah menjadi tren global yang dilakukan oleh masyarakat di seluruh dunia, yang mulai diperkenalkan dengan diciptakannya Aset Kripto pertama yang menjadi alternatif mata uang yang dikeluarkan oleh negara dan diproses tanpa adanya intervensi dari pemerintah, yaitu Bitcoin. Melihat bahwa dengan semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang mulai mencoba penambangan Aset Kripto serta masih adanya kekosongan hukum mengenai pelaksanaan penambangan Aset Kripto, 3 rumusan masalah yang diangkat oleh Penulis dari penambangan Aset Kripto adalah penggunaan listrik yang sangat besar dan hasil pembuangan berupa peralatan elektronik. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif untuk menganalisa dan membahas rumusan masalah yang diangkat, dengan sumber data berasal dari data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan artikel, jurnal, penelusuran internet dan bahan hukum yang relevan. Penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan dari peraturan yang ada, penambangan Aset Kripto belum dianggap sebagai suatu kegiatan usaha, sehingga pada umumnya masyarakat tidak memiliki kewajiban hukum yang harus dipenuhi untuk membentuk penambangan Aset Kripto, tetapi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 28 Tahun 2016 tentang Tarif Tenaga Listrik Yang Disediakan Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. No. 3 Tahun 2020 yang tidak mengatur mengenai batas maksimal penggunaan listrik, diantisipasikan dapat membentuk permasalahan yang dialami oleh negara Kazakhstan dan China yang pernah memiliki jumlah penambang Aset Kripto besar yaitu kesulitan untuk menyediakan tenaga listrik tanpa mendistrupsi penyediaan untuk masyarakat dan potensi dampak lingkungan dari pembangkit listrik Indonesia yang masih menggunakan bahan bakar fosil. |