Kepailitan sejatinya sita umum terhadap kekayaan debitur yang kemudian diserahkan kepada kurator dan akan dilelang kemudian dijadikan pelunasan terhadap kreditur. Kepailitan pada hakikatnya diawali ketika debitur berhenti membayar utang nya, sehingga pada kondisi tersebut debitur sedang dalam kondisi berhenti membayar, Pada perkembangan nya, terdapat 2 (dua) badan usaha yang dikenal, yaitu badan usaha berbadan hukum dan badan usaha tidak berbadan hukum. Salah satu badan usaha tidak berbadan hukum adalah Joint Operation yang merupakan dua badan usaha atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dalam waktu tertentu yang bersifat sementara dan bukan merupakan badan hukum baru, dan Join Operation dapat dilakukan dengan badan hukum asing, sehingga terdapat kemungkinan badan hukum asing tersebut memiliki harta kekayaan yang terletak di luar negeri, sehinnga penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang Tanggung Jawab Joint Operation terhadap kepailitan dan pelaksanaan eksekusi harta pailit yang berada di luar negeri. Skripsi ini menggunakan metode Yuridis Normatif. Joint Operation bukan merupakan subyek hukum karena yang disebut sebagai subyek hukum adalah manusia (naturlijk persoon) dan badan hukum (rechtpersoon),sehingga tanggung jawab Joint Operation adalah tanggung renteng dan penggunaan nama bersama nya dipersamakan seperti firma sebagaimana disebutkan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 K/N1999. Dengan demikian, dalam hal terjadinya kepailitan, peserta Joint Operation turut bertanggung jawab, karena Joint Operation dan para peserta nya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Apabila salah satu peserta nya adalah badan hukum asing, maka pengadilan niaga tetap berwenang memutus dan mengadili badan hukum asing yang menjalankan usaha nya di Indonesia. Dalam hal eksekusi harta pailit yang berada di luar negeri, prinsip universal dalam hukum kepailitan Indonesia hanya universal terbatas, karena masih bergantung dengan sistem yurisdiksi negara lain. sehingga berdasarkan hal tersebut, Indonesia mungkin perlu meratifikasi UNCITRAL Model Law On Cross Border Insolvency untuk menyelesaikan permasalahan kepailitan lintas batas. Indonesia juga mungkin perlu melakukan Perjanjian Bilateral dengan negara lain untuk mengatasi kepailitan lintas batas. |