Tindak Pidana Korupsi dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana luar biasa. Dewasa ini, Indonesia secara intens memberantas Korupsi, namun dalam penegakan hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi masih terdapat kekeliruan terutama pada proses pengadilan. Dalam konteks hukum pidana, suatu perbuatan dapat dikatakan merupakan perbuatan pidana apabila perbuatan tersebut memiliki sifat-sifat yakni merupakan perbuatan melanggar hukum (Wederrechtelijk), telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja (aan schlud te wijten) dan dapat dihukum (straftbaar). Dalam Praktik peradilan pidana, sering kali unsur-unsur Wederrechtelijk dalam suatu delik tidak dibuktikan sehingga dapat menimbulkan kekeliruan penerapan hukum dalam putusan. Seperti Dalam Putusan Nomor Putusan Nomor 97/PK/Pid.sus/2019 terkait upaya peninjauan kembali oleh terdakwa IG yang berkaitan dengan perkara Gratifikasi yang di kabulkan oleh Mahkamah Agung yakni diantaranya atas dasar pertentangan antara putusan dan asas-asas hukum pidana. Sedangkan dalam Putusan Nomor 01/Pid.Sus-Tpk/2020/PN.PTK tentang perkara tindak pidana Korupsi Mantan Bupati Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, Perbuatan terdakwa yakni menghimpun dana dari para kontraktor yang akan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan Hukum Kepala-kepala Desa di Kabupaten Bengkayang terkait dana desa sejak tahun 2017 sejatinya merupakan tindakan yang dapat diklasisfikasikan sebagai alasan penghapus pidana menjalankan perintah Undang-undang/ Wetelijk Voorschrift yang menghilangkan unsur wederechtlijkheid dalam perbuatan terdakwa. Hal ini membuktikan bahwa masih terdapat kekeliruan dalam penerapan hukum oleh penuntut umum maupun hakim dalam mengadili suatu perkara sehingga menimbulkan kerungian yang nyata terhadap terdakwa. Adapun Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif yakni berupa tinjauan Pustaka terhadap buku, Jurnal, Teori-teori, serta Asas-asas Hukum. Terkait data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. |