Perceraian orang tua sering kali memberikan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi remaja, bahkan tidak jarang mengakibatkan guncangan atau perubahan besar dalam hidup remaja, dan cenderung rentan pada masalah-masalah kenakalan remaja. Oleh karena itu, remaja yang orang tuanya bercerai perlu beradaptasi, pulih dan berkembang menjadi individu yang lebih baik atau resilient reintegration. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran resiliensi individu yang orang tuanya bercerai ketika remaja. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan wawancara, dan triangulasi dengan significant other. Panduan wawancara yang disusun berdasarkan perspektif teoritis dari Karol Kumpfer (1999) untuk menggali gambaran resiliensi dan faktor pendukungnya. Ketiga partisipan merupakan individu yang memiliki pengalaman perceraian kedua orang tua ketika remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua dari tiga partisipan berada pada tingkat resilient reintegration, yaitu keadaan saat individu mengalami pertumbuhan atau insight dari perceraian kedua orang tuanya. Sedangkan satu subjek masih berada pada tingkat homeostatic reintegration, keadaan dimana ketika individu belum berhasil menghadapi tantangan namun berkembang menjadi pribadi yang lebih baik dalam menjalani resiliensinya. Setiap partisipan menunjukkan perbedaan dan persamaan dalam proses resiliensinya. Faktor protektif dari lingkungan yang paling berpengaruh bagi ketiga partisipan adalah keluarga, sedangkan faktor protektif internal adalah adanya tujuan hidup, kemandirian, kemampuan berempati, dan kebahagiaan. Penelitian selanjutnya secara metodologis disarankan untuk mewawancarai partisipan triangulasi kebih dari satu orang. Sedangkan saran praktis bagi orangtua/guru/konselor adalah meningkatkan faktor protektif dan menurunkan faktor risiko. |