Salah satu masalah serius yang sedang dialami Negara berkembang Indonesia adalah korupsi, kejahatan ini sangat kompleks dan sangat merugikan keuangan Negara, ini membuat Indonesia menempatkan posisi ke-90 dari 176 Negara di dunia yang melakukan korupsi berdasarkan pada data tahun 2016, dari berbagai kasus korupsi di Indonesia, banyak diantaranya lolos dari jeratan pidana yang semestinya, dikarenakan salah satu unsur pada undang-undangnya tidak memiliki kepastian hukum berdasarkan pada putusan Mahkamah Agung No. 003/PUU-N/2006. Maka dari itu penulis ingin membandingkan unsure tersebut dengan membandingkan pada 2 putusan, (1) bagaimana unsure melawan hukum yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi dalam Putusan No.44/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST dan No.59/PID.SUS/2012/PN.SBY. dan (2) bagaimana pengaruh dari unsure melawan hukum dan unsur-unsur tindak pidana korupsi lainnya terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan bagi para pelaku pada Putusan No.44/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST dan No.59/PID.SUS/2012/PN.SBY.Berdasarkan kepada rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan bahwa pada Putusan Nomor 44, terdakwa Pargono Riyadi telah terbukti dan meyakinkan memenuhi unsur melawan hukum dan semua unsur yang didakwakan dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun berbeda dengan Putusan Nomor 59, terdakwa Mustofa bin Rajio yang selaku kepala desa yang didakwakan dengan tiga tuntutan berbeda diantaranya Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999, Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, dan yang terakhir Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999. Diantara ketiga dakwaan tersebut terdakwa Mustofa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan lebih subsidair yakni pasal 11, dikarenakan salah satu unsur pada dakwaan primair dan subsidair tidak terbukti. |