Hampir setengah dari jumlah pengungsi di seluruh dunia adalah anak-anak. Menurut Convention on the Rights of the Child (CRC) tahun 1989, anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Meski hak-haknya dilindungi, pengungsi anak seringkali kehilangan hak-hak asasi mereka dalam upaya mencari perlindungan. Tak jarang dari mereka yang menjadi objek pelecehan maupun kekerasan seksual, direkrut oleh kelompok bersenjata, mengalami kekurangan makanan, pendidikan, sanitasi, dan fasilitas kesehatan, serta terlantar tanpa keluarga maupun pendampingan. Convention relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) merekomendasikan pemerintah untuk menjamin perlindungan bagi para pengungsi yang di bawah umur, terutama anak-anak dan anak-anak perempuan yang tidak didampingi dengan mengacu pada prinsip perwalian dan dan adopsi. CRC pun mengatur hak-hak dasar yang dimiliki pengungsi anak yang mengacu kepada best interests rule, non-discrimination, dan right to participate. Namun, dalam kenyataan banyak dari negara-negara yang bukan anggota dari Konvensi 1951 dan Protokolnya yang mengabaikan hak anak, seperti negara yang memulangkan pengungsi anak ke negara yang dapat membahayakan nyawanya (refoulement) maupun negara yang menampung pengungsi anak di rumah detensi tanpa fasilitas dan pengawasan yang memadai. Hak-hak anak terkandung dalam CRC yang sifatnya universal dan merupakan hukum kebiasaan internasional. Hal itu menyebabkan tidak boleh ada satu negarapun yang tidak mengindahkan hak-hak anak seperti yang diatur dalam CRC. Prinsip non-refoulement juga merupakan jus cogens, hukum kebiasaan internasional, dan prinsip hukum umum yang diakui bangsa-bangsa sehingga upaya sebuah negara memulangkan pengungsi anak secara paksa tidak dapat dibenarkan secara internasional. |