Penggunaan alat bukti elektronik dalam mekanisme hukum acara perdata di Indonesia pada kenyataannya belum mendapat pengaturan secara normatif. Hal ini tentu menimbulkan polemik, karena tentu saja tidak bisa dibatasi penggunaan alat bukti elektronik oleh pihak-pihak yang berperkara, sementara dalam HIR tidak mengaturnya secara tegas. Secara khusus dalam perkara ini, penulis mengemukakan permasalahan yang timbul ketika diajukan novum berupa catatan rekaman pembicaraan guna membuktikan adanya utang dalam penyelesaian perkara kepailitan. Meskipun pada akhirnya permohonan PK ditolak, melalui penulisan hukum ini, penulis menguraikan bagaimana kekuatan pembuktian terkait novum yang diajukan, serta bagaimana akibat hukumnya terkait tidak dipertimbangkannya novum tersebut. Setelah melakukan penelusuran pustaka maupun wawancara, didapati bahwa kekuatan pembuktian dari catatan rekaman pembicaraan adalah kekuatan pembuktian bebas, dan catatan rekaman pembicaraan tersebut masuk ke dalam kategori alat bukti surat, sehingga dapat dijadikan sebagai novum. Namun, hal yang paling penting ketika ditemukannya novum adalah harus dilakukan sumpah terhadap novum tersebut, sayangnya hal ini tidak dilakukan oleh pemohon PK, sehingga membuat novum tersebut tidak bersifat menentukan. Dengan ditolaknya permohonan PK oleh Mahkamah Agung, membawa akibat hukum tersendiri yaitu dibatalkannya putusan pada tingkat Pengadilan Niaga. Terkait tindakan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum dijatuhkan putusan pembatalan pailit, tetap sah dan mengikat debitor, sehingga kurator tetap mendapat perlindungan secara hukum, hal ini diatur di dalam Pasal 16 Ayat (2) Undang-Undang Kepailitan. Sebagai saran, seharusnya penggunaan alat bukti elektronik mendapat tempat dalam mekanisme Hukum Acara Perdata kita, dan diperlukan pemahaman menyeluruh tentang Undang-Undang Kepailitan guna menghindari upaya-upaya dilakukannya kriminalisasi terhadap kurator. |