Dalam sejarah Hukum Pidana di Indonesia, tercatat ada beberapa pembunuhan serial, dimana pelaku tidak saja membunuh korbannya, bahkan sampai memutilasi korbannya dan kasus ini sudah di jatuhkan putuhan atau sudah in kracht. Kasus pembunuhan yang disertai dengan mutilasi, dengan pelaku Robot Gedek/Siswanto dan Baekuni/Babe merupakan contoh kasus yang sangat menarik. Kedua terpidana hukuman mati tersebut melakukan pembunuhan dengan modus yang sama, membunuh korbannya dengan jeratan tali di leher, menyodomi korbannya, setelah itu memutilasi korban dan membuang dinding perut korban sehingga isi perut korban terlihat dari luar. Korban dari kedua terdakwa ini adalah sama, yaitu anak -anak jalanan dengan jumlah yang banyak. Kasus menarik karena pada saat penjatuhan Hukuman terhadap Robot Gedek/ Siswanto, Baekuni/Babe adalah salah seorang saksi yang memberatkan Robot Gedek sehingga Robot Gedek dijatuhi Hukuman mati. Beberapa tahun kemudian (10 Januari 2010), ketika Baekuni dijadikan terdakwa untuk kasus sejenis, terungkap bahwa ada korban yang tadinya dinyatakan sebagai korban Robot Gedek, ternyata punya kemiripan identitas korban Baekuni/Babe. Berarti ada Indikasi terjadi kesalahan dalam putusan Robot Gedek. Pada kasus semacam ini, seharusnya putusan kasus Robot Gedek dibuka kembali atas dasar adanya novum/ bukti barn. Akan tetapi sayangnya hal ini sangat sulit atau tidak ada gunanya dilakukan kerena Robot Gedek sudah meninggal dalam tahanan. Dalam penulisan ini akan dijelaskan dimana point - point kesalahan yang mungkin telah dilakukan hakim dalam penjatuhan putusan berdasarkan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana, dan bagaimanakah jalan keluar yang sebaiknya dilakukan agar kesalahan - kesalahan seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. |