Penggunaan teknologi persenjataan dalam konflik bersenjata semakin berkembang setiap saat. Pada saat yang bersamaan, dalam era informasi modern seperti saat ini, kerusakan terhadap jaringan informasi dapat menyebabkan kelumpuhan substansial pada masyarakat. Jaringan sistem informasi dan teknologi itulah yang sekarang dapat dijadikan suatu senjata untuk menyerang pihak lain dalam konflik bersenjata (serangan cyber). Sedangkan salah satu instumen hukum konflik bersenjata yang ada saat ini, yaitu Konvensi Jenewa dan protokol tambahannya, terlihat terlalu usang untuk dapat mengatur tentang serangan cyber dalam konflik bersenjata. Yang menjadi pertanyaan dalam tulisan ini adalah pertama, apakah serangan cyber tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu serangan dalam HHI, dan kedua, bagaimanakah implementasi Statuta Roma terhadap pelaku serangan cyber yang melanggar HHI. Dalam menjawab pertanyaan kedua ini, penulis akan menyajikan suatu ilustrasi untuk mempermudah penjelasan tentang pertanyaan ini. Metode penelitian Yuridis Normatif menjadi metode yang penulis gunakan untuk mencari jawaban atas permasalahan ini, dimana penulis memperoleh data dari data-data primer dan sekunder. Pertanyaan pertama dapat dijawab dengan melihat sudut pandang konsekuensi dari suatu operasi militer yang dilakukan salah satu pihak dalam konflik bersenjata apakah bertentangan dengan HHI atau tidak. Selain itu, HHI sendiri mempunyai aturan tersendiri yang berkaitan dengan pengembangan senjata yang dilakukan oleh setiap negara yang menjadi anggota Konvensi Jenewa, yaitu Pasal Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 Protokol Tambahan I. Berkaitan dengan pertanyaan kedua, walaupun belum ada kasus pelaku serangan cyber yang dibawa kehadapan Mahkamah Pidana Internasional, tetapi fakta tersebut bukanlah suatu halangan bagi ketentuan dalam Statuta Roma untuk tidak bisa mempidana pelaku serangan cyber. |