Peralihan hak atas tanah dan bangunan melalui hibah sering terjadi di masyarakat. Berbeda dengan perjanjian lainnya yang mengenal asas obligatoir, dimana ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak, hibah merupakan jenis perjanjian cuma-cuma, artinya beban kewajiban hanya pada penghibah, sedangkan penerima hibah tidak dibebani kewajiban. Hal ini berarti bahwa hibah terjadi karena kemurahan hati penghibah. Dalam penulisan hukum ini, penulis membahas mengenai kasus hibah antara Tuan Widjaja Arifin sebagai penghibah dengan Tuan Singgih Wijaya sebagai penerima hibah, dengan nomor akta hibah No.8/Tl.S/1984. Dalam kasus tersebut, yang menjadi objek hibah yaitu tanah dan bangunan di atasnya yang bersertifikat hak milik dengan luas 113 m2, yang terletak di Teluk Betung Selatan, Provinsi Lampung. Dalam kasus ini, penghibah hendak mengajukan pembatalan hibah yang telah terjadi 28 tahun tersebut, dengan alasan bahwa hibah terjadi karena ada unsur paksaan yang dialaminya. Dalam penulisan hukum ini, penulis membahas mengenai alasan pembatalan hibah tersebut. Metode yang digunakan dalam menyusun penulisan hukum ini yaitu dengan metode juridis normatif, dengan cara membahas permasalahan yang ada secara teori dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan teori dari para ahli hukum. Permasalahan yang dibahas dalam penulisan hukum ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dilihat dari hubungan hukum antara penghibah dan penerima hibah adalah kakak adik kandung. Adapun alasan penghibah mengajukan pembatalan hibah tidak dapat dibuktikan dengan dasar yang kuat karena orang yang melakukan paksaan tersebut telah meninggal dunia, sehingga tidak dapat dimintakan keterangannya. Dan paksaan tersebut dilakukan tanpa kekerasan, sehingga tidak cukup untuk membatalkan hibah yang telah berjalan selama 28 tahun ini. |