Seringnya kita mendengar berbagai kasus mengenai salah tangkap yang mengakibatkan seseorang yang bukan pelaku tindak pidana harus bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Hal ini menimbulkan suatu pemikiran, upaya apa yang bisa dilakukan oleh korban salah tangkap dan bagaimana tanggung jawab negara dan penegak hukum. KUHAP sudah mengatur upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan oleh korban error in persona yang ingin mencari keadilan, misalnya praperadilan, eksepsi, pledooi, banding, kasasi dan Peninjauan Kembali apabila terdapat novum baru. Namun upaya-upaya tersebut tidaklah mudah dilakukan mengingat bahwa korban salah tangkap mayoritas merupakan masyarakat kebawah yang lemah kedudukannya, tidak memiliki akses atau fasilitas untuk mendapat bantuan hukum yang berkualitas dan tidak mengerti proses hukum atau buta hukum. Dan mengenai negara dan aparat penegak hukum harus dibebankan tanggung jawab terkait terjadinya kasus salah tangkap tersebut yaitu dengan memberikan ganti rugi dan rehabilitasi dan melakukan reformasi peradilan dan memberikan sanksi kepada Polri yang telah salah dalam melaksanakan tugas wewenang hukum sebagai penyelidik, penyelidik pembantu dan penyidik. Sanksi terberat yang dapat diterapkan kepada Polri adalah Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Namun tidak hanya sanksi kode etik dan peraturan disiplin saja, melainkan sanksi pidana melalui peradilan umum dapat diterapkan apabila terbukti terjadinya error in persona tersebut dikarenakan Polri melakukan suatu tindak pidana misalnya menerima suap. Oleh karena itu, sudah saatnya lembaga penegak hukum melakukan reformasi peradilan sehingga dapat menciptakan sistem peradilan yang lebih adil dan jujur. |