Pada dekade terakhir ini, di Indonesia ramai dengan Otonomi Daerah berdasarkan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, akan tetapi kenyataan bahwa ada beberapa daerah di Indonesia yang berstatus lain misalnya Otonomi Khusus Aceh, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Otonomi Khusus (OTSUS) Papua. Majelis Rakyat Papua (MRP) lahir karena OTSUS sementara OTSUS lahir karena masalah status politik Papua Barat (West Papua). Namun demikian, berdasarkan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, lahirlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang OTSUS bagi Provinsi Papua. Salah satu Peraturan pelaksananya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP. Kemudian, permasalahan di sini adalah bagaimana kedudukan dan fungsi MRP di Papua? Bagaimana pula selain ada DPRP, ada juga MRP di Papua? Bagaimana posisi MRP apabila terjadi pemekaran Provinsi di Papua? Metode penelitian yang dipakai penulis adalah: Pertama. Metode yuridis normatif dengan pengumpulan data kepustakaan yang dianalisis melalui penafsiran hukum. Kedua. Metode empiris dengan observasi dan wawancara yang akan menggambarkan suatu keadaan. MRP adalah representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan kelompok adat, perempuan dan agama. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa kedudukan MRP setara dengan kedudukan DPRP dan Gubernur, tetapi fungsi MRP belum tuntas karena hanya terbatas pada memberikan pertimbangan dan persetujuan atas Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS) sedangkan fungsi legislasi, kontrol dan anggaran tidak diberikan kepada MRP. MRP hanya melengkapi fungsi DPRP. Kemudian, kedudukan MRP pada Provinsi pemekaran di Papua sah menurut Pasal 74 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP, akan tetapi dari perspektif kultural MRP cukup satu karena MRP adalah lembaga kultural, bukan lembaga politik. Oleh karena itu, MRP tidak bisa ikut wilayah administrasi pemerintahan. |