Hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja tercipta karena dilandasi adanya kesepakatan antara keduanya, di mana di dalamnya diatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Seiring dengan perkembangan ekonomi, juga perkembangan kebutuhan bagi pekerja, terkadang ketentuan di dalam perjanjian tersebut dirasa sudah tidak lagi relevan dan tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan pekerja. Oleh karena itu, dirasakan perlu adanya perubahan atas perjanjian yang telah disepakati tersebut. Permintaan perubahan upah dan/atau kesejahteraan hampir selalu datang dari pekerja. Diketahui secara umum bahwa pekerja cenderung meminta yang lebih tinggi dari besaran yang sesungguhnya mereka perlukan. Dalam merespon permintaan/tuntutan pekerja, seringkali pengusaha tidak bersedia memenuhinya dengan alasan bahwa tuntutan para pekerja tersebut terlalu berlebihan. Hal inilah yang seringkali menimbulkan perselisihan antara pengusaha dan pekerja yang dapat berujung pada aksi mogok kerja. Adapun pokok permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah mengenai bagaimana asas kesepakatan dalam perjanjian kerja dilaksanakan dalam hubungan kerja, dan bagaimana relevansi antara asas kesepakatan dalam perjanjian kerja dengan mogok sebagai hak dasar pekerja. Di dalam suatu hubungan kerja, perjanjian kerja haruslah dilandasi dengan asas kesepakatan. Secara kodrati terdapat perbedaan kepentingan antara pengusaha dengan pekerja dalam hal-hal normatif (hal yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan). Perbedaan kepentingan tersebut, cara penyelesaiannya seharusnya melalui negosiasi/musyawarah, bukan dengan cara memaksakan kehendak. Sehubungan dengan fenomena yang demikian, maka para pihak yaitu pengusaha dan serikat pekerja/pekerja perlu mempunyai kemampuan untuk melakukan perundingan/negosiasi. Penyelesaian perbedaan pendapat dalam hubungan kerja melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan sejalan dengan semangat kemitraan yang seringkali didengungkan dalam pembicaraan tentang hubungan kerja. |