Suatu Perkawinan akan membawa akibat hukum kepada para pihak yang melakukannya, begitu pula dengan Perkawinan Campuran. Adapun akibat hukum dari Perkawinan Campuran berkaitan dengan kewarganegaraan pasangan, kewarganegaraan anak, dan harta benda dalam perkawinan, khususnya terhadap kepemilikan atas benda tidak bergerak berupa tanah, Sebab menurut Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria dinyatakan bahwa, hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat memiliki Hak Milik atas tanah. Bagi Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara asing, akan kesulitan untuk memiliki tanah atau bangunan dengan status Hak Milik. Hal ini dikarenakan Undang – undang Perkawinan Indonesia mengatur bahwa, harta benda yang diperoleh selama Perkawinan menjadi harta bersama, dimana kedua belah pihak memiliki hak yang sama atas harta tersebut. Sedangkan Undang-undang Pokok Agraria menyatakan bahwa Warga Negara asing tidak dapat memiliki tanah dengan status Hak Milik. Permasalahan yang sering timbul adalah apabila terjadi perceraian baik cerai hidup atau cerai mati dalam Perkawinan Campuran, dan salah satu pihak menuntut pembagian harta gono gini. Maka terhadap istri diperlakukan ketentuan Pasal 21 Undang – Undang Pokok Agraria, ia disamakan kedudukannya dengan WNA, yaitu tidak boleh mempunyai hak milik, kalau ia mendapat hibah atau wasiat selama perkawinan, maka ia harus melepaskan haknya atau menurunkan status tanahnya menjadi Hak Pakai. Untuk mengatasi hal ini sebaiknya dilakukan Perjanjian Perkawinan pada saat atau sebelum dilangsungkannya Perkawinan tersebut, untuk menghindari percampuran harta antara harta kekayaan istri dan harta kekayaan suami. Perjanjian Perkawinan harus dibuat di hadapan Notaris dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. |