Permasalahan TPI berpangkal sejak tahun 2002, ketika TPI dililit utang dan sebagian utang segera jatuh tempo. PT BKB milik Hary Tanoe menyatakan bersedia memberikan talangan dengan imbalan saham TPI. Maka dibuatlah Perjanjian Penanaman Modal atau Investment Agreement. BKB akan menyelesaikan hutang tertentu dari TPI dengan kompensasi kepemilikan saham dalam TPI, yang akan diatur dalam Share Subscription Agreement. Untuk itu, Mbak Tutut telah memberikan surat kuasa yang tidak dapat dicabut kepada BKB untuk mengadakan sebuah RUPSLB mewakili pemegang saham. Dalam proses restrukturisasi, Mbak Tutut menyatakan keinginan untuk membayar kembali biaya yang telah dikeluarkan BKB dalam proses restrukturisasi. Negosiasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh BKB, hingga pada tanggal 10 Maret 2005, dikeluarkan surat panggilan RUPSLB 18 Maret 2005 kepada para pemegang saham, untuk penyelesaian restrukturisasi hutang TPI dan pengeluaran saham baru untuk BKB. Pada 18 Maret 2005, RUPSLB tersebut akhirnya berlangsung dengan dihadiri hanya oleh BKB, tanpa pemegang saham lainnya dengan hasil menegaskan kepemilikan mayoritas saham TPI oleh BKB dan sisanya tetap dimiliki Mbak Tutut. Pada tanggal 16 Maret 2005, Mbak Tutut mencabut surat kuasa yang telah diberikan kepada BKB. Pada tanggal 17 Maret 2005, Mbak Tutut dan para pemegang saham TPI lainnya mendahului BKB dengan menyelenggarakan RUPSLB yang isinya mengangkat pengurus TPI yang baru. Akibatnya, terdapat dua buah hasil RUPS yang masing-masing diklaim para pihak sebagai RUPS yang sah. Disini kita menemukan masalah perbedaan interpretasi PPM tahun 2001 mengenai peralihan saham TPI sebesar 75% kepada BKB, masalah keabsahan penggunaan SK yang sama berkali-kali oleh BKB yang tidak dapat dicabut, dan masalah sah atau tidaknya RUPSLB yang dilakukan, baik oleh pihak Mbak Tutut (17 Maret 2005) ataupun pihak BKB (18 Maret 2005). Masalah ini akan dibahas dan dianalisis dalam legal memorandum ini. |