Bekerja sebagai guru, adalah pekerjaan yang mulia, karena bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Tugas luhur tersebut adalah membimbing dan mendidik anak-anak melalui proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah, baik di tingkat dasar maupun tingkat lanjutan. Menurut Winkel (dalam Widiyanto, 2007) guru merupakan faktor utama dalam mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran. Pada kenyataan yang terjadi di BPK PENABUR masih ada masalah dengan kualitas guru yang menganggu proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya sekedar memberikan materi pelajaran, namun juga bertanggung jawab terhadap seluruh kehidupan anak didiknya. Rutinitas yang padat, tumpukan pekerjaan, tuntutan berbagai macam peran guru, ancaman keadaan fisik dan psikologis, kekhawatiran akan masa pensiun, dan perjalanan karir dapat menjadi beban dalam pekerjaan sebagai guru. Beban pekerjaan tersebut menjadi pemicu munculnya stres, yang apabila tidak diatasi dengan baik, maka akan menimbulkan stres yang berlebihan, dimana harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan membuat guru menjadi lelah dan letih secara fisik dan psikologis, sehingga mengganggu performa kerja, hal inilah yang disebut burnout. Profesi guru mendapatkan peringkat “very stressfull job” dalam penelitian rating terhadap tingkat stres pekerjaan (Kurniawati dan Windiyaningrum, 2006). Peneliti melihat, salah satu kemampuan digunakan untuk mencegah atau mengurangi dampak burnout pada guru adalah dengan meningkatkan kemampuan emotional intelligence guru tersebut. Penelitian ini menggunakan skala burnout dengan menggunakan kuesioner berdasarkan teori Greenberg dan Baron (2008). Sedangkan skala emotional intelligence dengan menggunakan BarOn Emotional Quotient Inventory (BarOn EQ-i). Jumlah sampel penelitian ini 52 orang yang merupakan seluruh guru Sekolah Dasar di SDK 2 dan 7 BPK PENABUR. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara emotional intelligence dan burnout. Pada analisis korelasi Spearman , diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar – 0.560. Angka koefisien korelasi negatif menunjukkan hubungan yang negatif, yaitu bila emotional intelligence rendah, maka burnout meningkat. Sebaliknya, bila emotional intelligence meningkat, maka burnout menurun. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah memperhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi burnout seperti faktor harga diri, karakteristik individu, masa kerja, dan gaya kepemimpinan atasan. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas populasi dan memperbanyak sampel, agar hasil penelitian menjadi kaya akan informasi. |