Polisi lalu lintas merupakan salah satu jenis pekerjaan yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menciptakan keamanan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas (Sarafino, 1994). Berbagai kondisi, baik di jalan maupun di kantor, yang dialami oleh polisi lalu lintas setiap hari, menuntut polisi lalu lintas tidak hanya harus memiliki kondisi fisik yang baik melainkan kondisi psikis yang sehat juga. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui kondisi psikis polisi lalu lintas yang bertugas di Jakarta Utara yang disebut dengan psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well-being meliputi enam dimensi yakni penerimaan diri, penguasaan lingkungan, otonomi, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, dan tujuan hidup. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan cara menyebarkan kuesioner yang terdiri dari 122 item. Item-item tersebut mencakup ke enam dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh Ryff dengan rentang pilihan jawaban dari tidak setuju sampai setuju. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini dipilih dengan teknik accidental sampling. Dari jumlah populasi sebesar 191 orang didapat 136 orang menjadi sampel yang terdiri dari 121 orang pria dan 15 orang wanita. Hasil penelitian menyatakan bahwa psychological well-being polisi lalu lintas di Jakarta Utara sudah tinggi. Dilihat dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being, seperti jenis kelamin, usia, status pernikahan, etnis, dan pendidikan, tidak terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan. Menurut urutan tingkat kepentingan, dimensi pengembangan diri dianggap paling penting sedangkan dimensi otonomi dianggap kurang penting oleh polisi lalu lintas. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada polisi lalu lintas untuk mengembangkan potensi dirinya secara maksimal karena seseorang yang sehat secara fisik belum tentu memiliki psychological well-being yang baik. |